SURABAYA - Dalam membahas terkait kerusakan lingkungan akibat aktivitas pembangunan dan pertambangan, mustahil untuk tidak membahas dampaknya terhadap perempuan. Oleh karena itu, lumrah untuk melihat berbagai bentuk pergerakan perlawanan perempuan dalam konflik-konflik agraria dan lingkungan.
Ambil contoh kiwari adalah konflik agraria di Desa Wadas dengan pergerakan Wadon Wadas. Untuk mengeksplor hubungan antara kerusakan lingkungan dan perlawanan perempuan, tim redaksi memutuskan untuk mewawancarai Antropolog UNAIR Dr. Pinky Saptandari yang memfokuskan penelitiannya pada isu-isu gender.
Pinky mengatakan bahwa topik ini harus dikaji dari perspektif ekofeminisme, supaya bisa melihat ketergantungan perempuan dengan alam. Perempuan pada dasarnya mengemban peran rangkap tiga dalam kesehariannya, yakni: peran reproduktif (haid, hamil, melahirkan, dan menyusui), peran produktif (mencari nafkah), dan peran mengelola komunitas. Dalam menjalankan peran ini, mereka bergantung sekali pada alam di sekitarnya. Oleh karena itu, maka Pinky mengatakan bahwa dimana perempuan berpijak, maka ada komunitas yang mendapatkan manfaat dari alam.
“Misal ketika perempuan sedang hamil atau haid, maka perempuan akan lebih membutuhkan akses air bersih. Perempuan juga merupakan penjaga keluarga, dari apa yang akan dikonsumsi sehari-hari hingga kebersihan rumah. Alhasil perempuan yang paling peka terhadap keseimbangan lingkungan sekitarnya. Apabila lingkungannya rusak dan terganggu perannya, maka yang mengalami kerugian tak hanya perempuan saja. Namun juga keluarganya, juga kelangsungan generasinya, ” ujar Ketua Wilayah Asosiasi Antropologi Indonesia itu.
Dari kepekaan itu, maka Pinky tak heran bahwa perempuan mengambil posisi depan ketika kerusakan lingkungan terjadi. Ia mencontohkan bahwa banyak sekali pergerakan perempuan di Indonesia yang melawan pembangunan dan pertambangan yang merusak, layaknya Wadon Wadas. Beberapanya adalah Aleta Baun yang melawan pertambangan marmer di Nusa Tenggara Timur dan Srikandi Kendeng yang melawan pabrik semen di Jawa Tengah. Menurutnya, perjuangan perempuan untuk menjaga lingkungannya pola siasatnya begitu filosofis.
“Perempuan itu memiliki kegigihan dan keuletan yang lebih. Hanya perempuan yang bisa hamil, dan kehamilan itu mempertaruhkan dan memperjuangkan kehidupan. Agar selamat ibunya dan bayinya, maka tentu perempuan harus gigih menjaga kesehatan fisik dan mentalnya. Itulah kelebihan perempuan. Maka apabila itu diaplikasikan ke penjagaan lingkungan, itu akan sangat relevan. Apabila semua lahir dari perempuan, maka alam hendaknya dilihat layaknya anak yang berada di dalam tubuhnya, ” tuturnya pada UNAIR NEWS (17/2/2022).
Untuk itu, Pinky mendesak agar realisasi pembangunan di Indonesia harus responsif gender. Hal ini agar efek dari pembangunan itu lebih berkeadilan terhadap semua elemen masyarakat. Dari aspek hukum, Indonesia telah memiliki Inpres 9/2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid dimana gender harus diarusutamakan dalam pembangunan nasional. Pinky berkata bahwa realisasi pengarusutamaan itu adalah, bagaimana perencanaan pembangunan dan pertambangan itu harus melibatkan partisipasi bermakna terhadap perempuan, anak, dan lansia.
Ia menambahkan bahwa tinggal bagaimana apakah pemerintah untuk menjalankannya dengan sungguh-sungguh, dan tak termakan pragmatisme yang melahirkan ketidakpekaan.
“Terlebih pula, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus mengoptimalkan peran perempuan untuk tujuan-tujuan pelestarian lingkungan. Apabila mereka diberi kewenangan, pasti mereka akan berada di garis terdepan untuk menjaga lingkungan dengan altruisme dan militansi. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan adalah kekuatan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, ” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan