SURABAYA– Pakar Dasar Ilmu Hukum UNAIR Joeni Arianto Kurniawan PhD berkesempatan untuk menjadi pemapar kajian terkait Ratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kajian ini disusun oleh Komnas HAM dan diseminasikan via webinar daring pada Rabu pagi (21/9/2022), dan dihadiri oleh narasumber dari elemen organisasi advokasi PRT, pemerintah, dan parlemen.
Joeni mengatakan bahwa asumsi dasarnya adalah PRT itu merupakan pekerja, sehingga harus mendapatkan hak-hak yang sama layaknya pekerja. Namun realitanya adalah, PRT tidak dianggap setara layaknya pekerja pada umumnya. Tendensi tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor. Salah satunya adalah rendahnya daya tawar PRT, yang lumrahnya berasal dari strata ekonomi menengah ke bawah, dengan pemberi kerja yang umumnya merupakan individu berstrata ekonomi menengah ke atas. Selain itu, nuansa domestik-informal dari kinerja PRT menjadikan pekerjaan PRT itu terisolasi dari dunia luar. Bahkan tak jarang, pemberi kerja melarang PRT yang tinggal di rumah pemberi kerja untuk keluar rumah.
“Tak hanya itu, PRT juga cenderung tak dianggap pekerja sesungguhnya. Hanyalah seorang pembantu, atau rewang dalam bahasa Jawa. Perspektif tersebut juga dipengaruhi oleh corak masyarakat kita yang masih feodal dan patriarkis, ” ujar dosen FH UNAIR itu.
Ekosistem kerja yang melanggar hak-hak PRT itu mendasari mengapa Indonesia harus meratifikasi Konvensi ILO 189. Joeni menuturkan bahwa pada intinya, konvensi itu mengatur bahwa posisi PRT itu setara layaknya pekerja pada umumnya. Tak hanya itu, Konvensi ILO 189 memberikan standar-standar perlindungan hak PRT, serta mendukung negara anggota untuk membuat hukum nasional yang memiliki konteks nasional sesuai dengan standar tersebut.
“Standar-standar itu kami sandingkan dengan hukum yang berlaku sekarang terkait perlindungan PRT, yakni Permenaker 2/2015. Apakah ia sudah sesuai dengan standar konvensi ILO 189? Hal tersebut juga kami lakukan pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang masih menjadi hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), ” ujar alumni Università di Pisa itu.
Joeni mengatakan bahwa kedua peraturan tersebut masih jauh dari standar konvensi. Misal soal pengupahan, yang dalam konvensi harus setara dengan ketentuan upah minimum. Tetapi dalam Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT hanyalah berbasis kesepakatan. Lalu terkait hak istirahat minimum bagi PRT, ketentuan tersebut sama sekali tidak diatur di Indonesia.
“Kedau peraturan itu juga masih belum mengatur terkait hak atas kebebasan PRT, sebagaimana tertuang dalam konvensi. Maksudnya adalah PRT yang tinggal bersama pemberi kerja itu berhak untuk tidak berada di rumah saat waktu istirahat, ” ujar Direktur Pusat Studi Pluralisme Hukum FH UNAIR itu.
Berdasarkan elaborasi tersebut, tertarik benang merah bahwa Konvensi ILO 189 harus diratifikasi oleh Indonesia. Joeni mengatakan bahwa fungsi dari konvensi ini adalah sebagai meta-norma, atau acuan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan di level nasional. Joeni juga mencontohkan Filipina yang telah meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 2012, yang berwujud golnya UU PPRT oleh parlemen setempat pada tahun 2013.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan